Kamis, 28 Juni 2012

cerpen terbaru

Ketika Aku Harus Memilih

Muslima

Saat hati merasa terpaut oleh sesuatu hal yang sangat menyenangkan. Disanalah hasrat menyatu dalam tarikan nafas. Cahaya cinta membuat kita dapat bertahan walau dalam gelap. Tidak dapat dipungkiri walau hitam itu ada, cahaya tetap mampu merubah warna. Setiap yang terjadi, baik ataukah tidak semuanya harus disyukuri. Hanya dengan bersyukur, hati akan selalu merasa tenang. Tetaplah tersenyum, karena senyuman adalah penawar duka yang paling mujarab.

            Namaku Minda, usiaku 16 tahun. Sejak tahun lalu, aku telah berada disini. Hidup diantara orang-orang asing, yang sebelumnya tak pernah terlintas akan hal ini. Aku belajar darinya, menangis karenanya, tertawa bersama, dan menghabiskan waktu malam dengan tumpukan cerita lalu. Kusadari waktuku terlalu singkat bersama mama Ais dan papa Amir. Dua orang yang selalu menyayangiku, selalu mencukupkan takaran kebutuhanku, bahkan rela melakukan segalanya demi keberhasilan studyku. Kini aku belum bisa bersamanya. Bangku SMA masih harus kuselesaikan seperdua tahun kedepan.

            Hidup dalam kehidupan om Surya dan tante Rina, adalah hal yang sangat aku syukuri. Segalanya jadi indah, saat bersama. Meski kusadari, mereka tetap bukan yang paling istimewah dalam hidup ini. Tapi, mereka telah banyak mengajarkan aku bagaimana harus tetap bertahan hidup bukan mempertahankan kehidupan. Mengajarkan aku ketegaran. Menjadi diri sendiri  adalah perioritas paling utama. Mereka lah yang menjadi penuntunku untuk survive  dalam hidup dan mengubah catatan sejarah.

            Alif adalah putra kecilnya. Seorang anak yang tumbuh dengan baik. Aku turut mengambil andil dalam mengasuhnya. Cukup merasa lengkap dengan keluarga baru ini. Hari-hari terlewati tanpa ada yang kosong. Tak ada beban, tak ada kerisauan. Karena pertalian kasih telah tersimpul dalam naluri seorang ibu dan ayah, yang sifatnya selalu ingin menjadi yang terbaik untuk anak-anaknya. Akupun terhanyut dalam suasana.

            Waktu terlalu indah untuk dikenang, dan terlalu sukar untuk dilupakan. Semuanya berawal dari penaikan tahta. Istanah itu, hari demi hari bertambahlah kelengkapan ruang dan isinya. Hal ini membuat aku kewalahan mengurusi segala sesuatunya. Dini hari saat membuka mata, kubuka kembali materi-materi pelajaran pagi nanti. Adzan berkumandang, akupun segera mandi dan bersuci. Bagian-bagian wajib tubuhku, basah dua kali. Setelah mengadu padaNya, akupun mulai berceloteh dengan seiisi rumah itu.

            Aku lupa, om Surya dan tante Rina, memiliki pekerjaan yang berbeda. Om Surya adalah seorang dokter yang bekerja di sebuah Puskesmas di desa yang lumayan jauh dari rumah. Tante Rina seorang kepala sekolah SMP yang  juga tempatnya tidak terlalu jauh dari om Surya. Perjalanan yang menempuh waktu 3 jam dari rumah, tidak akan memungkinkan untuk mereka pergi dan  pulang setiap harinya. Untuk itu, mereka tinggal diperumahan Puskesmas BERSATU Desa itu. Disana pula tempat mama bersama papa bermukim. Seminggu sekali, mereka akan berkunjung.

            Rumah itu, lebih tepat kukatakan sebagai istana. Meski hanya aku dan kak Teguh yang setiap hari berada di dalamnya. Tetapi, cek cleaningnya tetap tiap hari. Lewat ponselq, satu persatu akan diabsen. Ya, tidak ada kata yang indah, selain kata syukur dan sabar dari bibir ini.

Hari terlewati, cerita pun kian berubah. Ada saatnya aku ingin menangis, namun air mata itu telah membasahi jiwa. Rasa malu yang cukup tinggi, membuatnya tidak mampu melewati bola bening itu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Harapanku, ada cinta setelahnya di hati kami.

Sebagai kakak untuk keluarga baru, aku lah yang memegang tanggung jawab penuh dengan kebersihan rumah. Alif selalu menjadi teman kala sepi, saat dia ada. Karena pergaulanku diluar sana hanya sebatas halaman sekolah, perpustakaan, laboratorium, dan kelas-kelas pelajaran yang lumayan padat. Setelah itu? Pastinya langsung tancap deh.

            Tak ada yang perlu disesali. Waktu telah merubah nasib. Meski air hati telah bertambah, kemarau telah tekalahkan, tetap saja tak ada yang bisa menjawab cerita rahasia ini. Aku pun terus tersenyum dalam lautan air mata sukma. Sekali-kali  aku membasahi kedua pipiku untuk menghapus padang tandus disana. Semoga dengan cara itu, aku akan lupa dengan cerita ini.

Mama Ais lah yang selalu menjadi penyemangat. Papa Amir menjadi panutan. Aku tidak pernah berpikir, mereka akan membuat aku seperti ini. Bagi mereka, inilah yang bisa diberikan untuk kebahagiaan, cita-cita, dan keabadian. Aku menghargai kerja keras mereka, walau pernah ada kecewa.

“Ya Rabbi, maafkan atas salahku. Seharusnya aku mencintai mereka dengan setulus-tullus cinta. Bukan malah menyalahkan seperti ini”.

 

            Untuk menjadi dewasa, aku selalu butuh guru terbaik, apakah itu pengalaman orang lain, ataupun kegagalanku sendiri. Terkadang terlintas dibenakku, akan hari dimana aku hidup sendirian. Bangun, tidur, mengurus segala sesuatunya sendirian, dan selalu ingin sendirian. Itulah saat dimana aku akan mengekspresikan segala sesuatu berdasarkan kehendakku. Ah… betapa egoisnya aku, jika itu terjadi. Mimpi, dan bermimpi.

            Suatu ketika, senja telah berlabuh di cakrawala. Perpindahan itu terasa singkat, namun dirindukan. Hari itu, aku belum tiba di rumah. Tugas Catatan Akhir Sekolahku, ingin segera dirampungkan. Jadi aku masih tinggal di warung internet yang tidak terlalu  jauh dari rumah tante Rina. Adzan telah mengudara. Memanggil para perindu syurga. Aku tetap asyik di depan monitor. 15 menit berlalu, akupun segera log out dan memutuskan kembali ke rumah.

            Jalanan itu terlalu sepi. Semua orang telah masuk rumah. Lima menit berlalu melintasi jalan itu, aku pun sampai di rumah tante Rina. Aku terheran saat membuka pagar besi itu. Gemboknya tidak terkunci, sementara aku telah merapatkan gemboknya, saat keluar tadi. Aku pun segera masuk dengan hati-hati. Kutemui kak Teguh menatapku penuh kecewa.

“kenapa baru pulang? Dia telah tiba sepuluh menit yang lalu”

            Dadaku berdegup kencang mendengar ujaran kakakku. Segera kuraih tas yang kuletakkan di atas kursi di samping garasi mobil.

“Assalamua’laikum, tante. Maaf baru pulang tadi dari warnet, kerja tugas”

Mata itu seolah ingin menusuk jantungku. Tatapannya sangat tajam dan membuatku ketakutan.

“tugas apa yang sedang kau kerjakan? Kamu ini, hebat ya, tugasnya kalah sama orang yang lagi study S2. Emangnya, tidak ada waktu lain?”

            Aku tertunduk bersama linangan air bening di pipiku. Ingin rasanyya memberontak, tapi tubuhku menjadi kaku. Aku terdiam. Tante Rina segera menjauh. Mungkin, dia sedang meredam air matanya di kamar sebelah. Aku pun segera masuk ke dalam kamarku. Kutuangkan rasa sedihku itu dalam bait-bait puisi yang entah apa yang sedang kupikirkan tentangnya.

Catatan Kecil Di Padang Gersang

Saat emosi telah mengalahkan logika.

Hitam dan merah tak tergambarkan

Naluri tak terpakai,

Amarah menjadi kawan.

            Dengarkan aku sesaat,

Walau kau tak butuh alasan

Aku tak bisa tanpamu

Tapi, kini aku tak ingin

Adakah ruang yang membuatku bertahan

Saat kau tak tahu menyesuaikan

Inikah cinta yang kau dongengkan

Sekejap berakhir dengan nada hitam

            Kata-kata itu tanpa sadar telah tergores oleh penah hati, dan telah menjadi arsip kecil dihari ini. Sepuluh menit berlalu semuanya pasti akan berubah. Semua itu benar, tante Rina mengajakku menyiapkan makan malam untuk kami bertiga. Kak, teguh, tante Rina, dan aku. Suasana menjadi cair kembali, dan luka telah berakhir di batas kertas yang telah menjadi catatan sejarah.

            Ujian akhir sekolah menengah telah berlalu. Hasilnya telah diketahui. Kelasku, lulus 100%. XII IPA, telah mencatat sejarah terbaik bagi sekolah kami tiga tahun terakhir ini.

            Tiba saatnya aku akan memilih satu perguruan tinggi untuk melanjutkan cita-citaku. Tawaran demi tawaran dari teman-temanku membuat pikiranku sibuk mempertimbangkan. Dimana tempat yang akan menjadi ladang panen ilmu yang baru. Tante Rina ingin aku masuk Universitas yang ada di kota saja. Tepatnya, tidak jauh dari rumah kami. Mama ingin aku pulang, dan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi lagi. Katanya, biaya kuliah sangat mahal jadi harus ada yang mengalah. Karena aku masih muda, jadi aku lah yang harus istirahat dulu.

            Tak ada kata menyerah dan pasrah dengan keadaan. Meski selama ini, aku selalu senang berjalan diatas keinginan mereka. Namun aku masih bingung dalam menentukan pilihanku. Akankah aku ikut mama atau tante Rina. Tolonglah aku wahai yang maha segalanya. Berikanlah aku petunjukmu.

            Perjalanan yang susah untuk ditebak. Seleksi berkas PPSB (Program Penjaringan Siswa Berprestasi) disebuah Universitas Merah Maron telah kuperoleh hasilnya. Alhamdulillah aku diterima. Tapi, aku sangat takut untuk mengatakan hal ini kepada mama.

            Besok aku harus pulang ke rumah. Ada harapan baru dalam benakku. Aku berharap, keinginanku kali ini bisa tercapai.

            Keputusan kini ada ditanganku. Mama telah menyetujui, apapun pilihanku nantinya. Tante Rina telah mengetahui hal ini pula. Mama dan papa mengharuskan aku memilih. Apapun pilihan itu, semoga terbaik untuk semuanya. Aku tak tahu, apa yang akan kulakukan saat ini. Hanya berpikir tak menentu. Antara cinta dan cita. Harus ada yang kukorbankan, untuk mendapatkan kedua-duanya.

            Hari itu, terjadi pertikaian antara mama dan tante Rina. Aku menjadi saksi mata akan peristiwa yang menegangkan itu.

“aku sangat sayang sama Minda. Mengapa kau lakukan ini?

“ini adalah keinginannya sendiri bu. Anak-anak terkadang suka dengan hal-hal baru”.

            Alasan demi alas an tercurah dari bibir yang lemah itu. Mama tak banyak berkata. Seketika suasana menjadi asing. Aku tak berani berkata apapun. Tangis tante Rina menjadi dihadapanku. Saat itu, ada pertalian halus dalam naluri yang kurasa terpaut pada hatiku. Kupandangi wajah yang selalu tegar itu, kini menjadi tak berdaya di hadapanku. Entah apa yang kuperbuat, semuanya jadi berbeda.

            Malam menyelimuti kemuraman rumah tante Rina. Semuanya belum usai layaknya senja yang sangat muda berganti pakaian. Aku masih terdiam dalam pilihan yang menguras pikiranku. Kupejamkan mata melintasi malam, dan melaju dalam mimpi-mimpi. Semoga mimpi itu, mampu menjawab ketidakberdayaanku.

            Tiba saatnya aku menjadi merpati kecil. Terbang mengudara walau ada rasa takut. Di dunia yang luas, aku belajar. Aku ingin mencicipi setumpukan cerita berkawan. Cerita yang hanya kutemui dalam kumpulan puisi para sastrawan angkatan 45. Mungkin ini jalan takdirku. Mengenal, mencintai, memilih, memutuskan, dan harus menerima resikonya.

            Senja yang selalu tersenyum, walau tak bisa menjawab masalahku. Cukup dengan senyuman itu, aku bisa merasakan kedamaian. Bukan itu alasan utamanya. Dalam memilih dan memutuskan, kita harus tahu seberapa besar resiko yang akan kita ambil di tempat yang baru. Jika kita bisa memprediksi, maka keberanian itu akan menghujam dalam jiwa. Menjadi penguat langkah.

            Kusadari, cinta telah menutup mataku. Terkadang membuatku tak bisa berjalan normal karenanya. Terkadang memilih, tapi tak mengerti satu sama lain. Tapi, aku selalu percaya, cita akan menjawab keberadaan cinta. Karena cinta akan selalu bisa dimiliki dan dirasakan. Tapi cita, sekali peluang terlewatkan maka tak ada lagi jalan terang tentangnya. Begitulah yang kupikirkan saat tak ada yang mampu menjawab. Kucoba menjadi bijaksana, walau dengan pemikiran sederhana.

            Aku bahagia di tempat baruku. Meski terpisah dari mama dan tante  Rina. Aku bahagia tak menunjukan siapa sebenarnya yang paling kuistimewahkan dari keduanya. Biarlah hatiku yang tahu. Biarkan dia tersimpan rapi di dalamnya. Aku hidup dalam rindu. Perjumpaan dengan mereka, yang entah kapan akan terasa lengkap, membuat semangatku selalu ada dalam menuntut ilmu di sini. Universitas yang telah membuka mataku. Tempatku mengabdi, sebelum memasuki skala yang lebih luas.

“Terima kasih ya Allah. Engkau membuatku selalu bersyukur walau dalam kesendirian. Bimbinglah aku hingga akhir hayatku.”

.

Selesai

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar