cerpen terbaru
Ketika
Aku Harus Memilih
Muslima
Saat hati merasa
terpaut oleh sesuatu hal yang sangat menyenangkan. Disanalah hasrat menyatu
dalam tarikan nafas. Cahaya cinta membuat kita dapat bertahan walau dalam
gelap. Tidak dapat dipungkiri walau hitam itu ada, cahaya tetap mampu merubah
warna. Setiap yang terjadi, baik ataukah tidak semuanya harus disyukuri. Hanya
dengan bersyukur, hati akan selalu merasa tenang. Tetaplah tersenyum, karena
senyuman adalah penawar duka yang paling mujarab.
Namaku
Minda, usiaku 16 tahun. Sejak tahun lalu, aku telah berada disini. Hidup
diantara orang-orang asing, yang sebelumnya tak pernah terlintas akan hal ini.
Aku belajar darinya, menangis karenanya, tertawa bersama, dan menghabiskan
waktu malam dengan tumpukan cerita lalu. Kusadari waktuku terlalu singkat
bersama mama Ais dan papa Amir. Dua orang yang selalu menyayangiku, selalu
mencukupkan takaran kebutuhanku, bahkan rela melakukan segalanya demi
keberhasilan studyku. Kini aku belum bisa bersamanya. Bangku SMA masih harus
kuselesaikan seperdua tahun kedepan.
Hidup
dalam kehidupan om Surya dan tante Rina, adalah hal yang sangat aku syukuri. Segalanya
jadi indah, saat bersama. Meski kusadari, mereka tetap bukan yang paling
istimewah dalam hidup ini. Tapi, mereka telah banyak mengajarkan aku bagaimana
harus tetap bertahan hidup bukan mempertahankan kehidupan. Mengajarkan aku
ketegaran. Menjadi diri sendiri adalah
perioritas paling utama. Mereka lah yang menjadi penuntunku untuk survive dalam hidup dan mengubah catatan sejarah.
Alif
adalah putra kecilnya. Seorang anak yang tumbuh dengan baik. Aku turut
mengambil andil dalam mengasuhnya. Cukup merasa lengkap dengan keluarga baru
ini. Hari-hari terlewati tanpa ada yang kosong. Tak ada beban, tak ada
kerisauan. Karena pertalian kasih telah tersimpul dalam naluri seorang ibu dan
ayah, yang sifatnya selalu ingin menjadi yang terbaik untuk anak-anaknya.
Akupun terhanyut dalam suasana.
Waktu
terlalu indah untuk dikenang, dan terlalu sukar untuk dilupakan. Semuanya
berawal dari penaikan tahta. Istanah itu, hari demi hari bertambahlah
kelengkapan ruang dan isinya. Hal ini membuat aku kewalahan mengurusi segala
sesuatunya. Dini hari saat membuka mata, kubuka kembali materi-materi pelajaran
pagi nanti. Adzan berkumandang, akupun segera mandi dan bersuci. Bagian-bagian
wajib tubuhku, basah dua kali. Setelah mengadu padaNya, akupun mulai berceloteh
dengan seiisi rumah itu.
Aku
lupa, om Surya dan tante Rina, memiliki pekerjaan yang berbeda. Om Surya adalah
seorang dokter yang bekerja di sebuah Puskesmas di desa yang lumayan jauh dari
rumah. Tante Rina seorang kepala sekolah SMP yang juga tempatnya tidak terlalu jauh dari om
Surya. Perjalanan yang menempuh waktu 3 jam dari rumah, tidak akan memungkinkan
untuk mereka pergi dan pulang setiap
harinya. Untuk itu, mereka tinggal diperumahan Puskesmas BERSATU Desa itu.
Disana pula tempat mama bersama papa bermukim. Seminggu sekali, mereka akan
berkunjung.
Rumah
itu, lebih tepat kukatakan sebagai istana. Meski hanya aku dan kak Teguh yang
setiap hari berada di dalamnya. Tetapi, cek cleaningnya tetap tiap hari. Lewat
ponselq, satu persatu akan diabsen. Ya, tidak ada kata yang indah, selain kata
syukur dan sabar dari bibir ini.
Hari terlewati, cerita
pun kian berubah. Ada saatnya aku ingin menangis, namun air mata itu telah
membasahi jiwa. Rasa malu yang cukup tinggi, membuatnya tidak mampu melewati
bola bening itu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Harapanku, ada cinta
setelahnya di hati kami.
Sebagai kakak untuk
keluarga baru, aku lah yang memegang tanggung jawab penuh dengan kebersihan
rumah. Alif selalu menjadi teman kala sepi, saat dia ada. Karena pergaulanku
diluar sana hanya sebatas halaman sekolah, perpustakaan, laboratorium, dan
kelas-kelas pelajaran yang lumayan padat. Setelah itu? Pastinya langsung tancap
deh.
Tak
ada yang perlu disesali. Waktu telah merubah nasib. Meski air hati telah
bertambah, kemarau telah tekalahkan, tetap saja tak ada yang bisa menjawab
cerita rahasia ini. Aku pun terus tersenyum dalam lautan air mata sukma.
Sekali-kali aku membasahi kedua pipiku
untuk menghapus padang tandus disana. Semoga dengan cara itu, aku akan lupa
dengan cerita ini.
Mama Ais lah yang
selalu menjadi penyemangat. Papa Amir menjadi panutan. Aku tidak pernah
berpikir, mereka akan membuat aku seperti ini. Bagi mereka, inilah yang bisa
diberikan untuk kebahagiaan, cita-cita, dan keabadian. Aku menghargai kerja
keras mereka, walau pernah ada kecewa.
“Ya
Rabbi, maafkan atas salahku. Seharusnya aku mencintai mereka dengan
setulus-tullus cinta. Bukan malah menyalahkan seperti ini”.
Untuk
menjadi dewasa, aku selalu butuh guru terbaik, apakah itu pengalaman orang
lain, ataupun kegagalanku sendiri. Terkadang terlintas dibenakku, akan hari
dimana aku hidup sendirian. Bangun, tidur, mengurus segala sesuatunya
sendirian, dan selalu ingin sendirian. Itulah saat dimana aku akan
mengekspresikan segala sesuatu berdasarkan kehendakku. Ah… betapa egoisnya aku,
jika itu terjadi. Mimpi, dan bermimpi.
Suatu
ketika, senja telah berlabuh di cakrawala. Perpindahan itu terasa singkat,
namun dirindukan. Hari itu, aku belum tiba di rumah. Tugas Catatan Akhir
Sekolahku, ingin segera dirampungkan. Jadi aku masih tinggal di warung internet
yang tidak terlalu jauh dari rumah tante
Rina. Adzan telah mengudara. Memanggil para perindu syurga. Aku tetap asyik di
depan monitor. 15 menit berlalu, akupun segera log out dan memutuskan kembali
ke rumah.
Jalanan
itu terlalu sepi. Semua orang telah masuk rumah. Lima menit berlalu melintasi
jalan itu, aku pun sampai di rumah tante Rina. Aku terheran saat membuka pagar
besi itu. Gemboknya tidak terkunci, sementara aku telah merapatkan gemboknya,
saat keluar tadi. Aku pun segera masuk dengan hati-hati. Kutemui kak Teguh
menatapku penuh kecewa.
“kenapa baru pulang? Dia telah tiba sepuluh menit
yang lalu”
Dadaku
berdegup kencang mendengar ujaran kakakku. Segera kuraih tas yang kuletakkan di
atas kursi di samping garasi mobil.
“Assalamua’laikum, tante. Maaf baru pulang tadi dari
warnet, kerja tugas”
Mata itu seolah ingin menusuk jantungku. Tatapannya
sangat tajam dan membuatku ketakutan.
“tugas apa yang sedang kau kerjakan? Kamu ini, hebat
ya, tugasnya kalah sama orang yang lagi study S2. Emangnya, tidak ada waktu
lain?”
Aku
tertunduk bersama linangan air bening di pipiku. Ingin rasanyya memberontak,
tapi tubuhku menjadi kaku. Aku terdiam. Tante Rina segera menjauh. Mungkin, dia
sedang meredam air matanya di kamar sebelah. Aku pun segera masuk ke dalam
kamarku. Kutuangkan rasa sedihku itu dalam bait-bait puisi yang entah apa yang
sedang kupikirkan tentangnya.
Catatan
Kecil Di Padang Gersang
Saat
emosi telah mengalahkan logika.
Hitam
dan merah tak tergambarkan
Naluri
tak terpakai,
Amarah
menjadi kawan.
Dengarkan aku sesaat,
Walau
kau tak butuh alasan
Aku
tak bisa tanpamu
Tapi,
kini aku tak ingin
Adakah
ruang yang membuatku bertahan
Saat
kau tak tahu menyesuaikan
Inikah
cinta yang kau dongengkan
Sekejap
berakhir dengan nada hitam
Kata-kata
itu tanpa sadar telah tergores oleh penah hati, dan telah menjadi arsip kecil
dihari ini. Sepuluh menit berlalu semuanya pasti akan berubah. Semua itu benar,
tante Rina mengajakku menyiapkan makan malam untuk kami bertiga. Kak, teguh,
tante Rina, dan aku. Suasana menjadi cair kembali, dan luka telah berakhir di
batas kertas yang telah menjadi catatan sejarah.
Ujian
akhir sekolah menengah telah berlalu. Hasilnya telah diketahui. Kelasku, lulus
100%. XII IPA, telah mencatat sejarah terbaik bagi sekolah kami tiga tahun
terakhir ini.
Tiba
saatnya aku akan memilih satu perguruan tinggi untuk melanjutkan cita-citaku.
Tawaran demi tawaran dari teman-temanku membuat pikiranku sibuk
mempertimbangkan. Dimana tempat yang akan menjadi ladang panen ilmu yang baru.
Tante Rina ingin aku masuk Universitas yang ada di kota saja. Tepatnya, tidak
jauh dari rumah kami. Mama ingin aku pulang, dan tidak melanjutkan ke perguruan
tinggi lagi. Katanya, biaya kuliah sangat mahal jadi harus ada yang mengalah.
Karena aku masih muda, jadi aku lah yang harus istirahat dulu.
Tak
ada kata menyerah dan pasrah dengan keadaan. Meski selama ini, aku selalu
senang berjalan diatas keinginan mereka. Namun aku masih bingung dalam
menentukan pilihanku. Akankah aku ikut mama atau tante Rina. Tolonglah aku
wahai yang maha segalanya. Berikanlah aku petunjukmu.
Perjalanan
yang susah untuk ditebak. Seleksi berkas PPSB (Program Penjaringan Siswa
Berprestasi) disebuah Universitas Merah Maron telah kuperoleh hasilnya.
Alhamdulillah aku diterima. Tapi, aku sangat takut untuk mengatakan hal ini
kepada mama.
Besok
aku harus pulang ke rumah. Ada harapan baru dalam benakku. Aku berharap,
keinginanku kali ini bisa tercapai.
Keputusan
kini ada ditanganku. Mama telah menyetujui, apapun pilihanku nantinya. Tante
Rina telah mengetahui hal ini pula. Mama dan papa mengharuskan aku memilih.
Apapun pilihan itu, semoga terbaik untuk semuanya. Aku tak tahu, apa yang akan
kulakukan saat ini. Hanya berpikir tak menentu. Antara cinta dan cita. Harus
ada yang kukorbankan, untuk mendapatkan kedua-duanya.
Hari
itu, terjadi pertikaian antara mama dan tante Rina. Aku menjadi saksi mata akan
peristiwa yang menegangkan itu.
“aku sangat sayang sama Minda. Mengapa kau lakukan
ini?
“ini adalah keinginannya sendiri bu. Anak-anak
terkadang suka dengan hal-hal baru”.
Alasan
demi alas an tercurah dari bibir yang lemah itu. Mama tak banyak berkata.
Seketika suasana menjadi asing. Aku tak berani berkata apapun. Tangis tante
Rina menjadi dihadapanku. Saat itu, ada pertalian halus dalam naluri yang
kurasa terpaut pada hatiku. Kupandangi wajah yang selalu tegar itu, kini
menjadi tak berdaya di hadapanku. Entah apa yang kuperbuat, semuanya jadi
berbeda.
Malam
menyelimuti kemuraman rumah tante Rina. Semuanya belum usai layaknya senja yang
sangat muda berganti pakaian. Aku masih terdiam dalam pilihan yang menguras
pikiranku. Kupejamkan mata melintasi malam, dan melaju dalam mimpi-mimpi.
Semoga mimpi itu, mampu menjawab ketidakberdayaanku.
Tiba
saatnya aku menjadi merpati kecil. Terbang mengudara walau ada rasa takut. Di
dunia yang luas, aku belajar. Aku ingin mencicipi setumpukan cerita berkawan.
Cerita yang hanya kutemui dalam kumpulan puisi para sastrawan angkatan 45.
Mungkin ini jalan takdirku. Mengenal, mencintai, memilih, memutuskan, dan harus
menerima resikonya.
Senja
yang selalu tersenyum, walau tak bisa menjawab masalahku. Cukup dengan senyuman
itu, aku bisa merasakan kedamaian. Bukan itu alasan utamanya. Dalam memilih dan
memutuskan, kita harus tahu seberapa besar resiko yang akan kita ambil di
tempat yang baru. Jika kita bisa memprediksi, maka keberanian itu akan
menghujam dalam jiwa. Menjadi penguat langkah.
Kusadari,
cinta telah menutup mataku. Terkadang membuatku tak bisa berjalan normal
karenanya. Terkadang memilih, tapi tak mengerti satu sama lain. Tapi, aku
selalu percaya, cita akan menjawab keberadaan cinta. Karena cinta akan selalu
bisa dimiliki dan dirasakan. Tapi cita, sekali peluang terlewatkan maka tak ada
lagi jalan terang tentangnya. Begitulah yang kupikirkan saat tak ada yang mampu
menjawab. Kucoba menjadi bijaksana, walau dengan pemikiran sederhana.
Aku
bahagia di tempat baruku. Meski terpisah dari mama dan tante Rina. Aku bahagia tak menunjukan siapa
sebenarnya yang paling kuistimewahkan dari keduanya. Biarlah hatiku yang tahu.
Biarkan dia tersimpan rapi di dalamnya. Aku hidup dalam rindu. Perjumpaan
dengan mereka, yang entah kapan akan terasa lengkap, membuat semangatku selalu
ada dalam menuntut ilmu di sini. Universitas yang telah membuka mataku.
Tempatku mengabdi, sebelum memasuki skala yang lebih luas.
“Terima kasih ya Allah. Engkau membuatku selalu
bersyukur walau dalam kesendirian. Bimbinglah aku hingga akhir hayatku.”
.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar