Engkaulah Jembatan Itu
Muslima
Tahun
pertama memasuki Universitas. Disanalah aku memulai aktivitas baru. Berawal
dengan mengikuti ORAMARU(Orientasi Akademik
Mahasiswa Baru), sampai akhirnya aku resmi menjadi mahasiswa, di kampus
peradaban itu. Jadwal perkuliahan telah tertempel di papan informasi, pertanda
ceritaku akan dimulai.
Suasana
baru di rumah kontrakan, membuatku merasa bosan. Setiap hari aku selalu menjadi
penghuni awal yang muncul di kampus. Semua mata kuliah yang kukontrak pada
semester ini aman-aman saja. Akan tetapi aku tak betah di rumah kontrakan.
Kebiasaan SMA ku, kini mulai kurindukan. Mataku mulai liar mencari bunga-bunga
perawan yang tengah bermekaran.
“Hai,
Afnan.”
“Siapa
ya?”
“Kamu
lupa ya? Dengan aku. Aku teman SMP kamu dulu.”
Kucermati
wajah gadis itu dengan teliti. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi denganku.
Sungguh, aku benar-benar tidak mengingatnya. Meski wajah yang teduh itu, telah
menyapaku dengan penuh kelembutan, tetapi sulit kuterka dirinya yang penuh
dengan kebersahajaan.
Hari
berganti dan berganti. Disamping disibukkan dengan perkuliahan, aku mulai
menekuni kebiasaanku dulu. Telah banyak wanita yang kutipu demi kesenanganku.
Telinga-telinga mereka telah kubalut dengan kata-kata yang membuat mereka
terlena. Aku tak peduli seperti apa akibatnya nanti. Bagiku, wanita adalah
ladang kesenangan yang harus kunikmati. Bukankah ini adalah masaku? Masa yang
hanya datang sekali dalam sejarah hidupku. Aku benar-benar menikmatinya, sampai
pada suatu ketika aku mendap bibir fanat masalah dengan pacar 02. Aku menjadi
bingung dengan posisiku saat itu.
“Afnan,
aku tak menyangka, kau begitu kejam.”
“Fanny,
berhentilah menyalahkanku. Bukankah kau juga menerimaku?”
“tapi,
kau menghianatiku. Cukuplah sudah kak, mari kita jalani kehidupan kita
masing-masing”
Kata-kata
yang terangkum lembut di bibir fanny membuatku serba salah. Belum aku
menjelaskan semuanya, mata bening itu
telah menjauhiku. Aku terdiam seribu bahasa. Tapi, apa peduliku? Bukankah itu
hal yang lazim terjadi? Aku berusaha tidak tersentuh dengab situasi itu.
Memasuki
semester dua, aku mulai terpengaruh dengan keadaan. Kebiasaanku mempermainkan
wanita, telah membuatku lupa dengan kuliah. Bukan hanya itu, aku mulai
menyisipkan uang dari ibu untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Siang dan malam
kuhabiskan hanya untuk bersenang-senang.
Kuliah kini menjadi sekedar pelengkap dan pencarian status saja. Wanita-wanita
itu telah membuatku mulai melupakan pesan-pesan lembut ayah dan ibu.
Bagiku
saat itu, hidup hanyalah untuk diri sendiri. Biarkan nasib dan keberuntungan
menjawab semuanya. Tanpa sedikitpun aku berpikir, “hidup juga akan jauh
berarti, jika aku bisa bermanfaat untuk
orang lain.” Inilah diriku yang telah dibutakan oleh keadaan. Tapi, aku belum menemukan
seberkas cahaya yang bisa menuntunku kembali pada hakekat kehidupan.
Prestasi
diakhir tahun pertama. IPK 2,07 membuat pikiranku semakin kacau. Ditengah
kegalauanku saat itu, aku bertemu dengan sosok wajah teduh yang pernah
menyapaku dulu. Yang lebih aneh, ternyata dia adalah teman sekelasku.
“Afnan,
apa kabar ?”
“maaf,
kamu ini siapa ? kok, bisa tau namaku ?”
“aku
Salsha Nan. Aku temanmu waktu SMP lalu. ”
Sekarang
aku mulai mengingat wajah kecil itu. Hari ini dia menyapaku. Meski kami di
kelas yang sama, aku belum mengenalnya. Bukan karena kuper (kurang pergaulan),
akan tetapi itu semua karena aku jarang memasuki kelas pertama. Dialah teman
kecilku yang sempat kulupakan. Bayang-bayang kenangan masa lalu, membuatku
terasa hidup kembali.
Memasuki
tahun kedua. Aku yang semakin kacau dengan keadaanku, menyimpan wajah Salsha
dibalik kabut. Kini aku melewati hari-hariku untuk memikirkannya. Karena aku
telah menyadari seluruh keegoisanku, hanya rasa malu yang membuatku bersembunyi
dibalik tembok yan kokoh. Rumah kontrakan yang kubenci, kini menjadi tempat
yang paling kusenangi. Aku bahkan tidak ingin menghadiri seluruh kelas pada
semester ini. Semua ini kulakukan hanya untuk menghapus dirinya dalam
pikiranku.
Kabar
baru dari Prio sahabatku. Lewat Hand Phone :
“Nan,
kamu dimana ?”
“di
rumah aja ni. Emangnya ada apa ?”
“aku
ingin cerita sesuatu, see you”
Telepon
segera ditutup oleh Prio tanpa pamit. Dengan tingkah yang begitu penasaran, aku
menunggu kedatangannya.
Wajah
yang penuh dengan teka teki itu, hadir jua dihadapanku. Segera membuka
pembicaraan dengan kakunya.
“Nan,
kamu ingat Billa kan ?”
“hmm...
iya. Emangnya kenapa?”
“aku
dengar dari Fitriah, dia akan pindah Universitas.”
“trus?,
apa hubungannya dengan aku ? ”
Egoku
muncul seketika. Berita dari sahabatku tak kuhiraukan sama sekali. Karena
merasa tidak mendapat respon, Prio segera meninggalkanku.
Sepi
yang meninggalkanku tanpa pamit. Kegersangan hati yang semakin menyebar
keseluruh pelosoknya. Pikiranku mulai mencari-cari kumpula cerita tentang
Salshabila. Entah mengapa aku mulai suka untuk mencari tahu tentang dia.
Kusadari,
aku sangat berbeda. Minyak dan air, bisa dikatakan seperti itu ibaratnya. Meski
menyatu, tetapi tidak akan pernah bisa melebur. Salsha, sosok wanita yang
begitu mempesona, dengan balutan jilbab yang menutupi keindahan tubuhnya. Tapi
aku hanyalah seorang lelaki yang hidup atas ego dan kesenanganku. Bukan hanya
itu, tutur dan pancaran cahaya pada wajahnya selalu mendamaikan hati. Kini
hanya kegalauan yang bermain dalam imajinasiku.
Meski
tak mendapat respon dariku, Salshabila benar-benar akan pindah ke daerah
asalnya.
Malam
itu masih setia bersamaku. Datang, duduk, masuk kedalam selimutku. Suara musik
rock, yang senantiasa kuputar dengan menggunakan speaker no.1 level 7. Semuanya
demi pelampiasan emosi atas kegersangan hati dan kekacauan pikiranku. Tapi,
apalah dayaku malam ini memaksaku untuk mengungkapang tabir dari jendela yang
meredup itu.
Pikiranku
melayang menelusuri irama angan. Terbayang masa-masa yang telah kusia-siakan.
Pelabuhan rindu yang tidak kutemui sandarannya, kini terasa dekat di jiwaku.
Angin malam yang s etia berhembus, sangat
leluasa masuk dan keluar lewat indra penciumanku. Ada rasa haru yang kusimpan,
ketika cermin waktu telah kutatap. Bermula darinya dan akan tertaut untukNya. Kujelajahi
malam dengan sedikit rasa legah.
Masjid
Al-Adha. Seruan Allah kembali menggema di jagad raya. Entah mengapa mataku
telah terbuka lebar. Hatiku tersentuh dengan kalimat-kalimat itu. Kutatap diri
yang penuh dengan kenistaan ini. Rasa takut mulai menyapaku. Kuberanikan diri
menatap rumah Allah itu. Kulihat para pengangungnya dengan setia datang hanya
untuk berjumpa. Tapi aku, hanya berdiri kaku disini.
“hai
Nan. Ngapain kamu disini ?”
Pertanyaan
Prio yang mengejutkanku. segera kutatap seluruh tubuhnya. Aku tersungkur dalam
penyesalan yang nyata.
Ada
apa dengan diriku? Mengapa aku merasa Tuhan kini menyapaku. Salsha, apakah kau
menyaksikan hal ini? Biarlah hatiku dan hatimu yang nanti aka menjawab. Meski
kau telah disana, tapi aku merasa ruhmu senantiasa hidup bersamaku. Kau adalah
perantara yang Allah utus untuk membuka mataku.
Meski
kusadari tak dapat memetikmu. Tapi, hatiku merindu pada taman yang merekah,
diantara kumbang-kumbang mulia. Hari-hariku kulalui dengan nuansa yang telah
berbeda.
“terima
kasih atas cinta yang telah teruraikan.”
Semoga
kubisa menatap pelangi, meski kabut tebal akan segera menyelimuti. Aku berharap
tuhan membuka sedikit celah untuk menjadi tempatku mengintip. Saatnya untuk
belajar dari awal. Belajar tentang cita, cinta, dan kehidupan.
Terima
kasih teman, engkaulah jembatan itu. Semoga jalan terang yang engkau tunjukan
lewat isyarat matamu, mampu membimbingku menuju jalanNya.
¤¤¤
Tidak ada komentar:
Posting Komentar