Kamis, 28 Juni 2012

cerpen untuk dia


Engkaulah Jembatan Itu
Muslima 

            Tahun pertama memasuki Universitas. Disanalah aku memulai aktivitas baru. Berawal dengan mengikuti ORAMARU(Orientasi Akademik  Mahasiswa Baru), sampai akhirnya aku resmi menjadi mahasiswa, di kampus peradaban itu. Jadwal perkuliahan telah tertempel di papan informasi, pertanda ceritaku akan dimulai.
            Suasana baru di rumah kontrakan, membuatku merasa bosan. Setiap hari aku selalu menjadi penghuni awal yang muncul di kampus. Semua mata kuliah yang kukontrak pada semester ini aman-aman saja. Akan tetapi aku tak betah di rumah kontrakan. Kebiasaan SMA ku, kini mulai kurindukan. Mataku mulai liar mencari bunga-bunga perawan yang tengah bermekaran.
“Hai, Afnan.”
“Siapa ya?”
“Kamu lupa ya? Dengan aku. Aku teman SMP kamu dulu.”
            Kucermati wajah gadis itu dengan teliti. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi denganku. Sungguh, aku benar-benar tidak mengingatnya. Meski wajah yang teduh itu, telah menyapaku dengan penuh kelembutan, tetapi sulit kuterka dirinya yang penuh dengan kebersahajaan.
            Hari berganti dan berganti. Disamping disibukkan dengan perkuliahan, aku mulai menekuni kebiasaanku dulu. Telah banyak wanita yang kutipu demi kesenanganku. Telinga-telinga mereka telah kubalut dengan kata-kata yang membuat mereka terlena. Aku tak peduli seperti apa akibatnya nanti. Bagiku, wanita adalah ladang kesenangan yang harus kunikmati. Bukankah ini adalah masaku? Masa yang hanya datang sekali dalam sejarah hidupku. Aku benar-benar menikmatinya, sampai pada suatu ketika aku mendap bibir fanat masalah dengan pacar 02. Aku menjadi bingung dengan posisiku saat itu.
“Afnan, aku tak menyangka, kau  begitu kejam.”
“Fanny, berhentilah menyalahkanku. Bukankah kau juga menerimaku?”
“tapi, kau menghianatiku. Cukuplah sudah kak, mari kita jalani kehidupan kita masing-masing”
            Kata-kata yang terangkum lembut di bibir fanny membuatku serba salah. Belum aku menjelaskan semuanya, mata  bening itu telah menjauhiku. Aku terdiam seribu bahasa. Tapi, apa peduliku? Bukankah itu hal yang lazim terjadi? Aku berusaha tidak tersentuh dengab situasi itu.
Memasuki semester dua, aku mulai terpengaruh dengan keadaan. Kebiasaanku mempermainkan wanita, telah membuatku lupa dengan kuliah. Bukan hanya itu, aku mulai menyisipkan uang dari ibu untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Siang dan malam kuhabiskan hanya untuk  bersenang-senang. Kuliah kini menjadi sekedar pelengkap dan pencarian status saja. Wanita-wanita itu telah membuatku mulai melupakan pesan-pesan lembut ayah dan ibu.
Bagiku saat itu, hidup hanyalah untuk diri sendiri. Biarkan nasib dan keberuntungan menjawab semuanya. Tanpa sedikitpun aku berpikir, “hidup juga akan jauh berarti, jika aku bisa bermanfaat untuk  orang lain.” Inilah diriku yang telah dibutakan  oleh keadaan. Tapi, aku belum menemukan seberkas cahaya yang bisa menuntunku kembali pada hakekat kehidupan.
Prestasi diakhir tahun pertama. IPK 2,07 membuat pikiranku semakin kacau. Ditengah kegalauanku saat itu, aku bertemu dengan sosok wajah teduh yang pernah menyapaku dulu. Yang lebih aneh, ternyata dia adalah teman sekelasku.
“Afnan, apa kabar ?”
“maaf, kamu ini siapa ? kok, bisa tau namaku ?”
“aku Salsha Nan. Aku temanmu waktu SMP lalu. ”
            Sekarang aku mulai mengingat wajah kecil itu. Hari ini dia menyapaku. Meski kami di kelas yang sama, aku belum mengenalnya. Bukan karena kuper (kurang pergaulan), akan tetapi itu semua karena aku jarang memasuki kelas pertama. Dialah teman kecilku yang sempat kulupakan. Bayang-bayang kenangan masa lalu, membuatku terasa hidup kembali.
Memasuki tahun kedua. Aku yang semakin kacau dengan keadaanku, menyimpan wajah Salsha dibalik kabut. Kini aku melewati hari-hariku untuk memikirkannya. Karena aku telah menyadari seluruh keegoisanku, hanya rasa malu yang membuatku bersembunyi dibalik tembok yan kokoh. Rumah kontrakan yang kubenci, kini menjadi tempat yang paling kusenangi. Aku bahkan tidak ingin menghadiri seluruh kelas pada semester ini. Semua ini kulakukan hanya untuk menghapus dirinya dalam pikiranku.
Kabar baru dari Prio sahabatku. Lewat Hand Phone :
“Nan, kamu dimana ?”                                            
“di rumah aja ni. Emangnya ada apa ?”
“aku ingin cerita sesuatu, see you”
Telepon segera ditutup oleh Prio tanpa pamit. Dengan tingkah yang begitu penasaran, aku menunggu kedatangannya.
            Wajah yang penuh dengan teka teki itu, hadir jua dihadapanku. Segera membuka pembicaraan dengan kakunya.
“Nan, kamu ingat Billa kan ?”
“hmm... iya. Emangnya kenapa?”
“aku dengar dari Fitriah, dia akan pindah Universitas.”
“trus?, apa hubungannya dengan aku ? ”
            Egoku muncul seketika. Berita dari sahabatku tak kuhiraukan sama sekali. Karena merasa tidak mendapat respon, Prio segera meninggalkanku.
            Sepi yang meninggalkanku tanpa pamit. Kegersangan hati yang semakin menyebar keseluruh pelosoknya. Pikiranku mulai mencari-cari kumpula cerita tentang Salshabila. Entah mengapa aku mulai suka untuk mencari tahu tentang dia.
            Kusadari, aku sangat berbeda. Minyak dan air, bisa dikatakan seperti itu ibaratnya. Meski menyatu, tetapi tidak akan pernah bisa melebur. Salsha, sosok wanita yang begitu mempesona, dengan balutan jilbab yang menutupi keindahan tubuhnya. Tapi aku hanyalah seorang lelaki yang hidup atas ego dan kesenanganku. Bukan hanya itu, tutur dan pancaran cahaya pada wajahnya selalu mendamaikan hati. Kini hanya kegalauan yang bermain dalam imajinasiku.
            Meski tak mendapat respon dariku, Salshabila benar-benar akan pindah ke daerah asalnya.
Malam itu masih setia bersamaku. Datang, duduk, masuk kedalam selimutku. Suara musik rock, yang senantiasa kuputar dengan menggunakan speaker no.1 level 7. Semuanya demi pelampiasan emosi atas kegersangan hati dan kekacauan pikiranku. Tapi, apalah dayaku malam ini memaksaku untuk mengungkapang tabir dari jendela yang meredup itu.
            Pikiranku melayang menelusuri irama angan. Terbayang masa-masa yang telah kusia-siakan. Pelabuhan rindu yang tidak kutemui sandarannya, kini terasa dekat di jiwaku. Angin malam yang s etia berhembus, sangat leluasa masuk dan keluar lewat indra penciumanku. Ada rasa haru yang kusimpan, ketika cermin waktu telah kutatap. Bermula darinya dan akan tertaut untukNya. Kujelajahi malam dengan sedikit rasa legah.
            Masjid Al-Adha. Seruan Allah kembali menggema di jagad raya. Entah mengapa mataku telah terbuka lebar. Hatiku tersentuh dengan kalimat-kalimat itu. Kutatap diri yang penuh dengan kenistaan ini. Rasa takut mulai menyapaku. Kuberanikan diri menatap rumah Allah itu. Kulihat para pengangungnya dengan setia datang hanya untuk berjumpa. Tapi aku, hanya berdiri kaku disini.
“hai Nan. Ngapain kamu disini ?”
            Pertanyaan Prio yang mengejutkanku. segera kutatap seluruh tubuhnya. Aku tersungkur dalam penyesalan yang nyata.
            Ada apa dengan diriku? Mengapa aku merasa Tuhan kini menyapaku. Salsha, apakah kau menyaksikan hal ini? Biarlah hatiku dan hatimu yang nanti aka menjawab. Meski kau telah disana, tapi aku merasa ruhmu senantiasa hidup bersamaku. Kau adalah perantara yang Allah utus untuk membuka mataku.
Meski kusadari tak dapat memetikmu. Tapi, hatiku merindu pada taman yang merekah, diantara kumbang-kumbang mulia. Hari-hariku kulalui dengan nuansa yang telah berbeda.
“terima kasih atas cinta yang telah teruraikan.”
            Semoga kubisa menatap pelangi, meski kabut tebal akan segera menyelimuti. Aku berharap tuhan membuka sedikit celah untuk menjadi tempatku mengintip. Saatnya untuk belajar dari awal. Belajar tentang cita, cinta, dan kehidupan.
            Terima kasih teman, engkaulah jembatan itu. Semoga jalan terang yang engkau tunjukan lewat isyarat matamu, mampu membimbingku menuju jalanNya.

¤¤¤

Tidak ada komentar:

Posting Komentar