Kamis, 28 Juni 2012

Arikah cerpen


Surat Cinta Terindah
Muslima
Sore itu terasa bercahaya dengan ribuan malaikat yang mengelilingi kami. Kerinduan yang telah memuncak, seolah meredah saat kami dipertemukan dalam satu rumpun. Ada rasa bahagia, dan  haru yang telah berbaur bersama uraian senyuman yang tak akan pernah memudar. Aku berharap senyum itu, untuk hari ini, esok, dan untuk selamanya. Kupandangi wajah-wajah itu dengan penuh kasih. Jiwa seolah menyatu dalam suasana yang seketika hening. Wajah yang yang seketika mewarnai seluruh sudut gelap dihatiku, menjadikannya benderang dan penuh kedamaian.
Aku menangis dalam tawa yang kian melepas kerinduan yang amat dalam. Sudah dua pekan ini, aku tak bertemu sahabat-sahabatku. Hari ini kami menghabiskan waktu kurang lebih satu jam, hanya untuk berbagi cerita dua pekan yang yang kami lewati kemarin. Lathifah, Nur, Sri, dan Khumairah. Merekalah orang yang kuanggap paling dekat denganku saat ini. Meski aku jauh dari keluarga, kehadiran mereka kuanggap seperti keluarga di Universitas kehidupanku yang sedang kujalani. Ada kebahagiaan yang tak dapat kulukiskan. Ingin kuhentikan waktu disini saja, agar tak ada lagi duka.
Rumah Allah yang menjadi saksi seolah ikut tersenyum melihat kami. Disini, tak ada lagi duka. Rasa bahagia. Itulah perasaan yang hadir dari jiwa kami dengan tulus. Pikiranku melayang melintasi tapak-tapak rindu akan hari yang tetap seperti hari ini. Namun, kusadari, yang namanya hidup, ada namanya dinamika kehidupan. Jadi, tidak akan mungkin jika semuanya akan tetap seperti ini. Harapanlah yang membuat kita tetap hidup. Tidak ada salahnya kan?
Khumairah adalah sahabatku yang sangat periang. Terkadang aku iri kepadanya. Sifatnya yang begitu cuek dengan masalah orang lain, membuatku kurang hati. Melihatnya, seolah seperti menelan semua dukaku. Aku bahkan merasa, dia adalah orang yang tak punya masalah dalam hidup. Kusadari, rasa cintaku terlalu besar sehingga mulutku tetap tak mampu mengatakannya. Astagfirullahaladzim…. Maafkan aku saudariku, aku khilaf. Seharusnya aku tak berpikir seperti itu tentangmu. Kutahu, sebesar apapun masalah kita, tidak akan dapat mengalahkan kebesaran Allah dalam membayar semua masalah yang kita hadapi. So, am sorry.
Kata-kata itu berkelana dalam otakku. Entah apa yang kulakukan saat itu. Tawa yang memecah kesunyian, mengagetkanku. Aku pun turut tertawa dalam masalah yang kurang kumengerti. Waktu terlalu singkat bagiku saat itu. Setelah kerinduan kami terbayar, perpisahan itu kian berlalu. Langkahku segera menapaki lorong waktu menuju rumah tercintaku.
Hari berlalu dan terus berlalu. Tanpa pernah berpikir akan berhenti disatu titik. Aku pun turut mengikuti permainannya. Sejak menjadi mahasiswa, aku lebih banyak menghabiskan waktuku di majelis ilmu, perpustakaan, kelas kuliah, hot spot (tempat bersantai, sambil belajar), Mushollah dan kamar yang kujadikan istana dalam sudut hatiku.
Aku mulai lupa dengan masalah keluargaku yang kian memuncak. Semuanya berawal dari rumah kami yang harus dijual karena permasalahan ekonomi. Aku tak bisa berbuat banyak. Disisi lain, aku juga membutuhkan biaya untuk menyelesaikan kuliahku. Tapi, aku juga tidak sampai hati dengan semua yang telah diputuskan oleh orang tuaku.
Aku harus menjadi kakak bagi kakak dan adik-adikku. Itulah yang selalu aku ingat. Setiap ada masalah rumah, aku lah satu-satunya anak yang berhak tahu. Kakak dan adikku tidak pernah mengerti alasan dari semua yang terjadi. Aku sebenarnya lelah. Pikiranku terkadang menjadi labil. Tapi, aku berpikir bahwa, mama dan papa masih percaya padaku. Sehingga dia ingin aku mengetahui semuanya. Disini tidak ada dusta, walau terkadang ada luka. Seiring waktu, lukanya pasti akan sembuh juga.
Semenjak belajar agama lebih dalam, aku mulai mampu mengendalikan emosi. Aku bisa berubah secara natural. Caraku dalam menghadapi masalah pun sudah terlihat dewasa. Berkumpul bersama saudara-saudara yang amat sangat menyayangiku, membuatku mudah melupakan semuanya. Terima kasih telah memberi energi cinta dalam setiap langkahku.
Betapa indahnya. Ketika kita terjatuh, ada yang akan memapah. Menghibur saat sedih, menyiapkan makanan, bahkan menciptakan lelucon yang membuat kita tertawa geli. Aku pun kini merasa tak sendiri. Di tempat yang terbilang baru bagiku, kini dapat dengan mudah memberi aku banyak pelajaran yang berharga.
Hari ini aku ingin mengirim surat cinta buat adikku. Meski aku tak dapat menakar cintanya. Tapi itu lebih baik bagiku. Karenanya, cintaku padanya pun tak dapat kutakar .

Untuk Adikku yang kucintai
Assalamua’laikum wrb
Maaf, jika surat cintaku tak seindah cintamu padaku. Kuharap kau dengan senang hati untuk meluangkan waktumu menengoknya.
Bagaimana kabarmu wahai adikku?
Bagaimana kabar Mama, Papa dan dik Dadang?
Semoga senantiasa dalam lindungannya. Masih ingatkah kau suatu masa dimana kita hidup seatap. Kau selalu mengharapkan aku untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah. Padahal adikku tidak punya kesibukan apa-apa. Mmmm...Bagiku semua itu tidak masalah. Hal itu terjadi karena engkau masih percaya pada kakakmu ini kan?, kau masih percaya bahwa aku bisa mengerjakan semuanya.
Sekarang tentu semuanya telah berbeda, jalan yang berbeda teLah kita tempuh demi perjumpaan di satu titik bahagia. Aku selalu merindukan hari itu adikku. Hari dimana nikmat iman dan islam dapat mempersatukan kita. Hari dimana aku dan kalian semua berkumpul lagi. Di rumah kita yang entah rimbanya dimana sekarang. Tapi, janganlah engkau bersedih. Karena segala sesuatu yang menjadi milik kita sekarang adalah titipanNya, dan jika diambil olehNya itu merupakan sunnahtullah.
Adikku, kak sangat merindukan kalian semuanya. Ka disini hanya bertemankan Allah, cinta kalian, dan saudara-saudara yang menjadi penyemangat hidup kakak. Tapi kak sangat bahagia karena masih punya waktu untuk kalian. Meski hanya lewat tulisan yang sederhana ini, kak menyalurkan kerinduan. Tapi harapan-harapan indah selalu terpatri dikedalaman jiwa ini. Semoga kau masih mau mendengarkan sedikit keinginanku ini dik. Kak tahu, sebagai kakak, mungkin belum bisa menjadi yang terbaik. Tapi kak selalu berharap kau adalah adik terbaik yang kak miliki.
Tetaplah mensyukuri segala yang kita punya dikku. Karena Allah tidak menyukai orang yang tidak mensyukuri apa yang telah Allah berikan ok, ok._^_
Kak teringant firman Allah yang bunyinya kurang lebih seperti ini :
La in Syakartum la-aziidannakum(jika kalian bersyukur , niscaya Aku akan menambah rezekimu)(QS. 14 ; 7)
Wa maa bikummin ni’matin faminALLAHi tsumma idzaa massakumudllurru failaihi tajaruun (Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah datangnya, dan bila kamu ditimpa oleh kemudaratan , maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.(QS . 16 ; 53)
Wa ammaa bini’mati rabbika fahaddits (Dan terhadap Nikmat Tuhan-mu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)(QS . 93 ; 11)*
Betapa indahnya... janji-janji Allah. Dikku mau kan menjadi hamba yang taat?
Kak yakin, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan sekarang.
Hari ini kaka sangat bahagia sekali, mau tau ngga kenapa? Emmm... ka kurang yakin jika kamu turut merasakan apa yang kak rasakan saat ini. Tapi, tidak apalah jika aku harus tetap menceritakannya padamu.
Dik, terkadang kehidupan ini bisa menjatuhkan kita. Tapi kita masih bisa memilih bangkit ataukah tertidur untuk selamanya. Iya kan?
Hari ini, kak memasuki Universitas baru di peradaban kehidupan yang abadi. Kak akan banyak belajar lagi bagaimana mencintai kalian dan mencintaiNya. Kak sangat bersyukur karena diberi kesempatan untuk mengikuti Sekolah Murobbi. Semoga kak bisa menjadi guru bagi anak-anak bangsa ini. Itulah harapanku dik. Meski kusadari apa yang kulakukan saat ini, masih sangat sedikit untuk mencapai semua itu. Tapi kak tetap ingin meraihnya. Do’akan kak ya, semoga bisa menjadi murobbi sejati.
"HIDUP bukan sekadar menunggu mati meskipun ajal dan maut tetap menanti". Hidup jangan terlalu memikirkan masa hadapan kerana ia akan menjadi racun kepada pemikiran. Rebutlah seberapa banyak peluang yang ada pada hari ini. Pastikan setiap saat yang berlalu tidak sia-sia.
Salam rindu dan sayang selalu.
Dari yang menyayangimu
Ayyatul Ilmi



Semoga adikku hafsoh dapat mengerti tentang kejadian yang kami alami dalam keluarga. Itulah yang bisa kulakukan untuk menenangkannya saat ini. Aku rindu kalian adik-adikku.
Hari-hariku terus berlalu dan pergi. Kesibukanku membuat semuanya berjalan baik-baik saja. Sekarang aku lebih banyak bertukar pesan singkat dengan adikku. Lewat handphone tentunya. Dia mengatakan bahwa
“surat cinta yang membuatku terharu. Aku juga mencintaimu kak”
Rasa sedih dalam hati seolah telah sirna sudah. Aku bisa berjalan bersama dengannya sekarang. Berjalan dalam waktu, dan cita yang berbeda. Tapi, aku yakin setelah cita kami peroleh kami, akan menyatu dalam cinta.

cerpen untuk dia


Engkaulah Jembatan Itu
Muslima 

            Tahun pertama memasuki Universitas. Disanalah aku memulai aktivitas baru. Berawal dengan mengikuti ORAMARU(Orientasi Akademik  Mahasiswa Baru), sampai akhirnya aku resmi menjadi mahasiswa, di kampus peradaban itu. Jadwal perkuliahan telah tertempel di papan informasi, pertanda ceritaku akan dimulai.
            Suasana baru di rumah kontrakan, membuatku merasa bosan. Setiap hari aku selalu menjadi penghuni awal yang muncul di kampus. Semua mata kuliah yang kukontrak pada semester ini aman-aman saja. Akan tetapi aku tak betah di rumah kontrakan. Kebiasaan SMA ku, kini mulai kurindukan. Mataku mulai liar mencari bunga-bunga perawan yang tengah bermekaran.
“Hai, Afnan.”
“Siapa ya?”
“Kamu lupa ya? Dengan aku. Aku teman SMP kamu dulu.”
            Kucermati wajah gadis itu dengan teliti. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi denganku. Sungguh, aku benar-benar tidak mengingatnya. Meski wajah yang teduh itu, telah menyapaku dengan penuh kelembutan, tetapi sulit kuterka dirinya yang penuh dengan kebersahajaan.
            Hari berganti dan berganti. Disamping disibukkan dengan perkuliahan, aku mulai menekuni kebiasaanku dulu. Telah banyak wanita yang kutipu demi kesenanganku. Telinga-telinga mereka telah kubalut dengan kata-kata yang membuat mereka terlena. Aku tak peduli seperti apa akibatnya nanti. Bagiku, wanita adalah ladang kesenangan yang harus kunikmati. Bukankah ini adalah masaku? Masa yang hanya datang sekali dalam sejarah hidupku. Aku benar-benar menikmatinya, sampai pada suatu ketika aku mendap bibir fanat masalah dengan pacar 02. Aku menjadi bingung dengan posisiku saat itu.
“Afnan, aku tak menyangka, kau  begitu kejam.”
“Fanny, berhentilah menyalahkanku. Bukankah kau juga menerimaku?”
“tapi, kau menghianatiku. Cukuplah sudah kak, mari kita jalani kehidupan kita masing-masing”
            Kata-kata yang terangkum lembut di bibir fanny membuatku serba salah. Belum aku menjelaskan semuanya, mata  bening itu telah menjauhiku. Aku terdiam seribu bahasa. Tapi, apa peduliku? Bukankah itu hal yang lazim terjadi? Aku berusaha tidak tersentuh dengab situasi itu.
Memasuki semester dua, aku mulai terpengaruh dengan keadaan. Kebiasaanku mempermainkan wanita, telah membuatku lupa dengan kuliah. Bukan hanya itu, aku mulai menyisipkan uang dari ibu untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Siang dan malam kuhabiskan hanya untuk  bersenang-senang. Kuliah kini menjadi sekedar pelengkap dan pencarian status saja. Wanita-wanita itu telah membuatku mulai melupakan pesan-pesan lembut ayah dan ibu.
Bagiku saat itu, hidup hanyalah untuk diri sendiri. Biarkan nasib dan keberuntungan menjawab semuanya. Tanpa sedikitpun aku berpikir, “hidup juga akan jauh berarti, jika aku bisa bermanfaat untuk  orang lain.” Inilah diriku yang telah dibutakan  oleh keadaan. Tapi, aku belum menemukan seberkas cahaya yang bisa menuntunku kembali pada hakekat kehidupan.
Prestasi diakhir tahun pertama. IPK 2,07 membuat pikiranku semakin kacau. Ditengah kegalauanku saat itu, aku bertemu dengan sosok wajah teduh yang pernah menyapaku dulu. Yang lebih aneh, ternyata dia adalah teman sekelasku.
“Afnan, apa kabar ?”
“maaf, kamu ini siapa ? kok, bisa tau namaku ?”
“aku Salsha Nan. Aku temanmu waktu SMP lalu. ”
            Sekarang aku mulai mengingat wajah kecil itu. Hari ini dia menyapaku. Meski kami di kelas yang sama, aku belum mengenalnya. Bukan karena kuper (kurang pergaulan), akan tetapi itu semua karena aku jarang memasuki kelas pertama. Dialah teman kecilku yang sempat kulupakan. Bayang-bayang kenangan masa lalu, membuatku terasa hidup kembali.
Memasuki tahun kedua. Aku yang semakin kacau dengan keadaanku, menyimpan wajah Salsha dibalik kabut. Kini aku melewati hari-hariku untuk memikirkannya. Karena aku telah menyadari seluruh keegoisanku, hanya rasa malu yang membuatku bersembunyi dibalik tembok yan kokoh. Rumah kontrakan yang kubenci, kini menjadi tempat yang paling kusenangi. Aku bahkan tidak ingin menghadiri seluruh kelas pada semester ini. Semua ini kulakukan hanya untuk menghapus dirinya dalam pikiranku.
Kabar baru dari Prio sahabatku. Lewat Hand Phone :
“Nan, kamu dimana ?”                                            
“di rumah aja ni. Emangnya ada apa ?”
“aku ingin cerita sesuatu, see you”
Telepon segera ditutup oleh Prio tanpa pamit. Dengan tingkah yang begitu penasaran, aku menunggu kedatangannya.
            Wajah yang penuh dengan teka teki itu, hadir jua dihadapanku. Segera membuka pembicaraan dengan kakunya.
“Nan, kamu ingat Billa kan ?”
“hmm... iya. Emangnya kenapa?”
“aku dengar dari Fitriah, dia akan pindah Universitas.”
“trus?, apa hubungannya dengan aku ? ”
            Egoku muncul seketika. Berita dari sahabatku tak kuhiraukan sama sekali. Karena merasa tidak mendapat respon, Prio segera meninggalkanku.
            Sepi yang meninggalkanku tanpa pamit. Kegersangan hati yang semakin menyebar keseluruh pelosoknya. Pikiranku mulai mencari-cari kumpula cerita tentang Salshabila. Entah mengapa aku mulai suka untuk mencari tahu tentang dia.
            Kusadari, aku sangat berbeda. Minyak dan air, bisa dikatakan seperti itu ibaratnya. Meski menyatu, tetapi tidak akan pernah bisa melebur. Salsha, sosok wanita yang begitu mempesona, dengan balutan jilbab yang menutupi keindahan tubuhnya. Tapi aku hanyalah seorang lelaki yang hidup atas ego dan kesenanganku. Bukan hanya itu, tutur dan pancaran cahaya pada wajahnya selalu mendamaikan hati. Kini hanya kegalauan yang bermain dalam imajinasiku.
            Meski tak mendapat respon dariku, Salshabila benar-benar akan pindah ke daerah asalnya.
Malam itu masih setia bersamaku. Datang, duduk, masuk kedalam selimutku. Suara musik rock, yang senantiasa kuputar dengan menggunakan speaker no.1 level 7. Semuanya demi pelampiasan emosi atas kegersangan hati dan kekacauan pikiranku. Tapi, apalah dayaku malam ini memaksaku untuk mengungkapang tabir dari jendela yang meredup itu.
            Pikiranku melayang menelusuri irama angan. Terbayang masa-masa yang telah kusia-siakan. Pelabuhan rindu yang tidak kutemui sandarannya, kini terasa dekat di jiwaku. Angin malam yang s etia berhembus, sangat leluasa masuk dan keluar lewat indra penciumanku. Ada rasa haru yang kusimpan, ketika cermin waktu telah kutatap. Bermula darinya dan akan tertaut untukNya. Kujelajahi malam dengan sedikit rasa legah.
            Masjid Al-Adha. Seruan Allah kembali menggema di jagad raya. Entah mengapa mataku telah terbuka lebar. Hatiku tersentuh dengan kalimat-kalimat itu. Kutatap diri yang penuh dengan kenistaan ini. Rasa takut mulai menyapaku. Kuberanikan diri menatap rumah Allah itu. Kulihat para pengangungnya dengan setia datang hanya untuk berjumpa. Tapi aku, hanya berdiri kaku disini.
“hai Nan. Ngapain kamu disini ?”
            Pertanyaan Prio yang mengejutkanku. segera kutatap seluruh tubuhnya. Aku tersungkur dalam penyesalan yang nyata.
            Ada apa dengan diriku? Mengapa aku merasa Tuhan kini menyapaku. Salsha, apakah kau menyaksikan hal ini? Biarlah hatiku dan hatimu yang nanti aka menjawab. Meski kau telah disana, tapi aku merasa ruhmu senantiasa hidup bersamaku. Kau adalah perantara yang Allah utus untuk membuka mataku.
Meski kusadari tak dapat memetikmu. Tapi, hatiku merindu pada taman yang merekah, diantara kumbang-kumbang mulia. Hari-hariku kulalui dengan nuansa yang telah berbeda.
“terima kasih atas cinta yang telah teruraikan.”
            Semoga kubisa menatap pelangi, meski kabut tebal akan segera menyelimuti. Aku berharap tuhan membuka sedikit celah untuk menjadi tempatku mengintip. Saatnya untuk belajar dari awal. Belajar tentang cita, cinta, dan kehidupan.
            Terima kasih teman, engkaulah jembatan itu. Semoga jalan terang yang engkau tunjukan lewat isyarat matamu, mampu membimbingku menuju jalanNya.

¤¤¤

cerpen terbaru

Ketika Aku Harus Memilih

Muslima

Saat hati merasa terpaut oleh sesuatu hal yang sangat menyenangkan. Disanalah hasrat menyatu dalam tarikan nafas. Cahaya cinta membuat kita dapat bertahan walau dalam gelap. Tidak dapat dipungkiri walau hitam itu ada, cahaya tetap mampu merubah warna. Setiap yang terjadi, baik ataukah tidak semuanya harus disyukuri. Hanya dengan bersyukur, hati akan selalu merasa tenang. Tetaplah tersenyum, karena senyuman adalah penawar duka yang paling mujarab.

            Namaku Minda, usiaku 16 tahun. Sejak tahun lalu, aku telah berada disini. Hidup diantara orang-orang asing, yang sebelumnya tak pernah terlintas akan hal ini. Aku belajar darinya, menangis karenanya, tertawa bersama, dan menghabiskan waktu malam dengan tumpukan cerita lalu. Kusadari waktuku terlalu singkat bersama mama Ais dan papa Amir. Dua orang yang selalu menyayangiku, selalu mencukupkan takaran kebutuhanku, bahkan rela melakukan segalanya demi keberhasilan studyku. Kini aku belum bisa bersamanya. Bangku SMA masih harus kuselesaikan seperdua tahun kedepan.

            Hidup dalam kehidupan om Surya dan tante Rina, adalah hal yang sangat aku syukuri. Segalanya jadi indah, saat bersama. Meski kusadari, mereka tetap bukan yang paling istimewah dalam hidup ini. Tapi, mereka telah banyak mengajarkan aku bagaimana harus tetap bertahan hidup bukan mempertahankan kehidupan. Mengajarkan aku ketegaran. Menjadi diri sendiri  adalah perioritas paling utama. Mereka lah yang menjadi penuntunku untuk survive  dalam hidup dan mengubah catatan sejarah.

            Alif adalah putra kecilnya. Seorang anak yang tumbuh dengan baik. Aku turut mengambil andil dalam mengasuhnya. Cukup merasa lengkap dengan keluarga baru ini. Hari-hari terlewati tanpa ada yang kosong. Tak ada beban, tak ada kerisauan. Karena pertalian kasih telah tersimpul dalam naluri seorang ibu dan ayah, yang sifatnya selalu ingin menjadi yang terbaik untuk anak-anaknya. Akupun terhanyut dalam suasana.

            Waktu terlalu indah untuk dikenang, dan terlalu sukar untuk dilupakan. Semuanya berawal dari penaikan tahta. Istanah itu, hari demi hari bertambahlah kelengkapan ruang dan isinya. Hal ini membuat aku kewalahan mengurusi segala sesuatunya. Dini hari saat membuka mata, kubuka kembali materi-materi pelajaran pagi nanti. Adzan berkumandang, akupun segera mandi dan bersuci. Bagian-bagian wajib tubuhku, basah dua kali. Setelah mengadu padaNya, akupun mulai berceloteh dengan seiisi rumah itu.

            Aku lupa, om Surya dan tante Rina, memiliki pekerjaan yang berbeda. Om Surya adalah seorang dokter yang bekerja di sebuah Puskesmas di desa yang lumayan jauh dari rumah. Tante Rina seorang kepala sekolah SMP yang  juga tempatnya tidak terlalu jauh dari om Surya. Perjalanan yang menempuh waktu 3 jam dari rumah, tidak akan memungkinkan untuk mereka pergi dan  pulang setiap harinya. Untuk itu, mereka tinggal diperumahan Puskesmas BERSATU Desa itu. Disana pula tempat mama bersama papa bermukim. Seminggu sekali, mereka akan berkunjung.

            Rumah itu, lebih tepat kukatakan sebagai istana. Meski hanya aku dan kak Teguh yang setiap hari berada di dalamnya. Tetapi, cek cleaningnya tetap tiap hari. Lewat ponselq, satu persatu akan diabsen. Ya, tidak ada kata yang indah, selain kata syukur dan sabar dari bibir ini.

Hari terlewati, cerita pun kian berubah. Ada saatnya aku ingin menangis, namun air mata itu telah membasahi jiwa. Rasa malu yang cukup tinggi, membuatnya tidak mampu melewati bola bening itu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Harapanku, ada cinta setelahnya di hati kami.

Sebagai kakak untuk keluarga baru, aku lah yang memegang tanggung jawab penuh dengan kebersihan rumah. Alif selalu menjadi teman kala sepi, saat dia ada. Karena pergaulanku diluar sana hanya sebatas halaman sekolah, perpustakaan, laboratorium, dan kelas-kelas pelajaran yang lumayan padat. Setelah itu? Pastinya langsung tancap deh.

            Tak ada yang perlu disesali. Waktu telah merubah nasib. Meski air hati telah bertambah, kemarau telah tekalahkan, tetap saja tak ada yang bisa menjawab cerita rahasia ini. Aku pun terus tersenyum dalam lautan air mata sukma. Sekali-kali  aku membasahi kedua pipiku untuk menghapus padang tandus disana. Semoga dengan cara itu, aku akan lupa dengan cerita ini.

Mama Ais lah yang selalu menjadi penyemangat. Papa Amir menjadi panutan. Aku tidak pernah berpikir, mereka akan membuat aku seperti ini. Bagi mereka, inilah yang bisa diberikan untuk kebahagiaan, cita-cita, dan keabadian. Aku menghargai kerja keras mereka, walau pernah ada kecewa.

“Ya Rabbi, maafkan atas salahku. Seharusnya aku mencintai mereka dengan setulus-tullus cinta. Bukan malah menyalahkan seperti ini”.

 

            Untuk menjadi dewasa, aku selalu butuh guru terbaik, apakah itu pengalaman orang lain, ataupun kegagalanku sendiri. Terkadang terlintas dibenakku, akan hari dimana aku hidup sendirian. Bangun, tidur, mengurus segala sesuatunya sendirian, dan selalu ingin sendirian. Itulah saat dimana aku akan mengekspresikan segala sesuatu berdasarkan kehendakku. Ah… betapa egoisnya aku, jika itu terjadi. Mimpi, dan bermimpi.

            Suatu ketika, senja telah berlabuh di cakrawala. Perpindahan itu terasa singkat, namun dirindukan. Hari itu, aku belum tiba di rumah. Tugas Catatan Akhir Sekolahku, ingin segera dirampungkan. Jadi aku masih tinggal di warung internet yang tidak terlalu  jauh dari rumah tante Rina. Adzan telah mengudara. Memanggil para perindu syurga. Aku tetap asyik di depan monitor. 15 menit berlalu, akupun segera log out dan memutuskan kembali ke rumah.

            Jalanan itu terlalu sepi. Semua orang telah masuk rumah. Lima menit berlalu melintasi jalan itu, aku pun sampai di rumah tante Rina. Aku terheran saat membuka pagar besi itu. Gemboknya tidak terkunci, sementara aku telah merapatkan gemboknya, saat keluar tadi. Aku pun segera masuk dengan hati-hati. Kutemui kak Teguh menatapku penuh kecewa.

“kenapa baru pulang? Dia telah tiba sepuluh menit yang lalu”

            Dadaku berdegup kencang mendengar ujaran kakakku. Segera kuraih tas yang kuletakkan di atas kursi di samping garasi mobil.

“Assalamua’laikum, tante. Maaf baru pulang tadi dari warnet, kerja tugas”

Mata itu seolah ingin menusuk jantungku. Tatapannya sangat tajam dan membuatku ketakutan.

“tugas apa yang sedang kau kerjakan? Kamu ini, hebat ya, tugasnya kalah sama orang yang lagi study S2. Emangnya, tidak ada waktu lain?”

            Aku tertunduk bersama linangan air bening di pipiku. Ingin rasanyya memberontak, tapi tubuhku menjadi kaku. Aku terdiam. Tante Rina segera menjauh. Mungkin, dia sedang meredam air matanya di kamar sebelah. Aku pun segera masuk ke dalam kamarku. Kutuangkan rasa sedihku itu dalam bait-bait puisi yang entah apa yang sedang kupikirkan tentangnya.

Catatan Kecil Di Padang Gersang

Saat emosi telah mengalahkan logika.

Hitam dan merah tak tergambarkan

Naluri tak terpakai,

Amarah menjadi kawan.

            Dengarkan aku sesaat,

Walau kau tak butuh alasan

Aku tak bisa tanpamu

Tapi, kini aku tak ingin

Adakah ruang yang membuatku bertahan

Saat kau tak tahu menyesuaikan

Inikah cinta yang kau dongengkan

Sekejap berakhir dengan nada hitam

            Kata-kata itu tanpa sadar telah tergores oleh penah hati, dan telah menjadi arsip kecil dihari ini. Sepuluh menit berlalu semuanya pasti akan berubah. Semua itu benar, tante Rina mengajakku menyiapkan makan malam untuk kami bertiga. Kak, teguh, tante Rina, dan aku. Suasana menjadi cair kembali, dan luka telah berakhir di batas kertas yang telah menjadi catatan sejarah.

            Ujian akhir sekolah menengah telah berlalu. Hasilnya telah diketahui. Kelasku, lulus 100%. XII IPA, telah mencatat sejarah terbaik bagi sekolah kami tiga tahun terakhir ini.

            Tiba saatnya aku akan memilih satu perguruan tinggi untuk melanjutkan cita-citaku. Tawaran demi tawaran dari teman-temanku membuat pikiranku sibuk mempertimbangkan. Dimana tempat yang akan menjadi ladang panen ilmu yang baru. Tante Rina ingin aku masuk Universitas yang ada di kota saja. Tepatnya, tidak jauh dari rumah kami. Mama ingin aku pulang, dan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi lagi. Katanya, biaya kuliah sangat mahal jadi harus ada yang mengalah. Karena aku masih muda, jadi aku lah yang harus istirahat dulu.

            Tak ada kata menyerah dan pasrah dengan keadaan. Meski selama ini, aku selalu senang berjalan diatas keinginan mereka. Namun aku masih bingung dalam menentukan pilihanku. Akankah aku ikut mama atau tante Rina. Tolonglah aku wahai yang maha segalanya. Berikanlah aku petunjukmu.

            Perjalanan yang susah untuk ditebak. Seleksi berkas PPSB (Program Penjaringan Siswa Berprestasi) disebuah Universitas Merah Maron telah kuperoleh hasilnya. Alhamdulillah aku diterima. Tapi, aku sangat takut untuk mengatakan hal ini kepada mama.

            Besok aku harus pulang ke rumah. Ada harapan baru dalam benakku. Aku berharap, keinginanku kali ini bisa tercapai.

            Keputusan kini ada ditanganku. Mama telah menyetujui, apapun pilihanku nantinya. Tante Rina telah mengetahui hal ini pula. Mama dan papa mengharuskan aku memilih. Apapun pilihan itu, semoga terbaik untuk semuanya. Aku tak tahu, apa yang akan kulakukan saat ini. Hanya berpikir tak menentu. Antara cinta dan cita. Harus ada yang kukorbankan, untuk mendapatkan kedua-duanya.

            Hari itu, terjadi pertikaian antara mama dan tante Rina. Aku menjadi saksi mata akan peristiwa yang menegangkan itu.

“aku sangat sayang sama Minda. Mengapa kau lakukan ini?

“ini adalah keinginannya sendiri bu. Anak-anak terkadang suka dengan hal-hal baru”.

            Alasan demi alas an tercurah dari bibir yang lemah itu. Mama tak banyak berkata. Seketika suasana menjadi asing. Aku tak berani berkata apapun. Tangis tante Rina menjadi dihadapanku. Saat itu, ada pertalian halus dalam naluri yang kurasa terpaut pada hatiku. Kupandangi wajah yang selalu tegar itu, kini menjadi tak berdaya di hadapanku. Entah apa yang kuperbuat, semuanya jadi berbeda.

            Malam menyelimuti kemuraman rumah tante Rina. Semuanya belum usai layaknya senja yang sangat muda berganti pakaian. Aku masih terdiam dalam pilihan yang menguras pikiranku. Kupejamkan mata melintasi malam, dan melaju dalam mimpi-mimpi. Semoga mimpi itu, mampu menjawab ketidakberdayaanku.

            Tiba saatnya aku menjadi merpati kecil. Terbang mengudara walau ada rasa takut. Di dunia yang luas, aku belajar. Aku ingin mencicipi setumpukan cerita berkawan. Cerita yang hanya kutemui dalam kumpulan puisi para sastrawan angkatan 45. Mungkin ini jalan takdirku. Mengenal, mencintai, memilih, memutuskan, dan harus menerima resikonya.

            Senja yang selalu tersenyum, walau tak bisa menjawab masalahku. Cukup dengan senyuman itu, aku bisa merasakan kedamaian. Bukan itu alasan utamanya. Dalam memilih dan memutuskan, kita harus tahu seberapa besar resiko yang akan kita ambil di tempat yang baru. Jika kita bisa memprediksi, maka keberanian itu akan menghujam dalam jiwa. Menjadi penguat langkah.

            Kusadari, cinta telah menutup mataku. Terkadang membuatku tak bisa berjalan normal karenanya. Terkadang memilih, tapi tak mengerti satu sama lain. Tapi, aku selalu percaya, cita akan menjawab keberadaan cinta. Karena cinta akan selalu bisa dimiliki dan dirasakan. Tapi cita, sekali peluang terlewatkan maka tak ada lagi jalan terang tentangnya. Begitulah yang kupikirkan saat tak ada yang mampu menjawab. Kucoba menjadi bijaksana, walau dengan pemikiran sederhana.

            Aku bahagia di tempat baruku. Meski terpisah dari mama dan tante  Rina. Aku bahagia tak menunjukan siapa sebenarnya yang paling kuistimewahkan dari keduanya. Biarlah hatiku yang tahu. Biarkan dia tersimpan rapi di dalamnya. Aku hidup dalam rindu. Perjumpaan dengan mereka, yang entah kapan akan terasa lengkap, membuat semangatku selalu ada dalam menuntut ilmu di sini. Universitas yang telah membuka mataku. Tempatku mengabdi, sebelum memasuki skala yang lebih luas.

“Terima kasih ya Allah. Engkau membuatku selalu bersyukur walau dalam kesendirian. Bimbinglah aku hingga akhir hayatku.”

.

Selesai

 

Kamis, 31 Mei 2012

Catatan buat Bunda


Bunda Tersayang

Senjaku telah luluh dalam pelarian masa
Taman-taman indah berhiaskan cinta,
Telah mengering seiring waktu yang terlena
Seiring duka lama yang dia torehkan.

Engkau tempat yang paling indah
Tempat hati berlabuh dalam kegersangan dunia
Tempat segala cerita aku tuangkan
Pada seluruh bejana hatimu……

Tak dapat kuulang masa, yang begitu pilu
Ketika cerita lama membayang,
Setiap hembusan nafas tak lagi kunikmati
Saat dia sempat merebut cintamu….

Bunda,
Maafkan anakmu yang lemah ini
Sempat cintanya membuatku lupa akan cintamu
Kini kusadari semua itu hanya fatamorgana semata

Kusadari tak ada yang abadi di dunia ini…
Tapi, keikhlasanmu tak dapat lagi diingkari
Seiring waktu yang kian menepi,
Tapi rasa hadirku, tetaplah yang terindah bagimu

Bunda yang selalu kucintai karena Allah
Kurindukan…..
Sekuntum mawar dalam sebuah harapan
Mekar di pagi hari menyambut datangnya mentari
Semerbak sepanjang hari tuk meramaikan suasana taman hati
Tak layu di malam hari bersama purnama yang menerangi bumi

Bunda, dekaplah rinduku ini
Saat kelengahanku telah menyertai
Semoga cinta Allah dan cintamu
Dapat kusemaikan dalam damai
Disetiap penjuru di ruang hatiku….

Aku menyayangimu, dan engkaupun tahu hal itu
Jangan lagi mengkhawatirkanku…
Karena rindu dan cintaku
hanya milik Allah dan milikmu
 
Mifta...